Pada awal tahun ajaran 2025/2026, SMAN 7 Semarang menerima kabar menggembirakan: seorang relawan dari Jepang akan datang untuk mendukung pembelajaran bahasa dan budaya Jepang di sekolah kami. Namun, ketika diketahui bahwa relawan tersebut berusia 63 tahun, muncul sedikit kekhawatiran dari pihak sekolah. Bapak Kepala Sekolah sempat bertanya, “Apakah tidak ada relawan yang lebih muda? Bagaimana jika beliau sering sakit?” Sebagai guru bahasa Jepang, saya meyakinkan bahwa setiap relawan sudah dilengkapi asuransi kesehatan, dan jika terjadi sesuatu mereka akan menanggung pengobatannya sendiri. Saya juga menekankan bahwa semangat dan dedikasi tidak mengenal usia.
Kekhawatiran itu akhirnya terbukti tidak beralasan. Saat Bapak Asakawa Katsuyuki tiba di sekolah, beliau langsung menunjukkan semangat luar biasa. Beliau dengan cepat beradaptasi dengan lingkungan sekolah, serta akrab dengan siswa-siswi. Siswa merasa sangat senang diajar oleh Katsu Sensei karena beliau ramah dan aktif mengajak mereka berkomunikasi dalam bahasa Jepang.
Selama empat minggu, beliau tidak hanya mengajarkan bahasa Jepang, tetapi juga mengenalkan budaya Jepang melalui berbagai kegiatan menarik, seperti kaligrafi, etika menggunakan sumpit, memperkenalkan pakaian tradisional, hingga permainan khas Jepang. Salah satu materi budaya yang berkesan adalah Nihon no mushi (serangga di Jepang). Awalnya, saya tidak terlalu memikirkan hubungan serangga dengan pergantian musim seperti yang ada di Indonesia. Namun, bagi orang Jepang, kehadiran serangga justru sangat menarik. Beberapa jenis serangga menandakan datangnya musim tertentu, bahkan suara serangga pada musim gugur dianggap indah dan menenangkan untuk didengar.
Selain mengajar, Katsu Sensei mengamati kehidupan sehari-hari di Indonesia. Menurut beliau, makanan Indonesia sangat enak, tetapi cenderung berminyak. Orang Indonesia lebih suka naik motor daripada berjalan kaki. Setelah seminggu berada di Semarang, beliau merasa kedua hal itu kurang baik untuk kesehatannya. Maka Katsu Sensei memutuskan untuk berjalan kaki setiap hari sejauh 2,5 km dari tempat tinggalnya menuju sekolah. Sikap disiplin dan gaya hidup sehat yang beliau tunjukkan menjadi teladan berharga bagi kami semua.
Antusiasme siswa sangat terasa dalam setiap kegiatan. Mereka merasa mendapatkan pengalaman belajar yang berbeda, menyenangkan, dan penuh makna. Kehadiran Katsu Sensei menjadikan kelas bahasa Jepang lebih hidup dan interaktif. Tidak hanya dengan siswa, Katsu Sensei juga menjalin komunikasi hangat dengan para guru dan staf sekolah. Beliau kerap berbagi pengalaman serta pengetahuan mengenai sistem pendidikan di Jepang. Dari sikap, kerja keras, dan kerendahan hati beliau, kami semua belajar bahwa semangat untuk berbagi dan belajar bersama tidak pernah mengenal batas usia.
Penulis:
Nur Adina Choirina, S.S
Guru Bahasa Jepang